Kita Hanya Butuh Satu Langkah Bersih
- F. X. Satrio Nugraha
- Dec 10, 2024
- 3 min read
Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan provinsi kepulauan dengan potensi sumber daya
yang sangat besar. Selain sektor pariwisata yang semakin terkenal di mancanegara, NTT juga
memiliki potensi di sektor pertanian, perkebunan, peternakan, kelautan, dan perikanan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di Nusa Tenggara Timur merupakan yang terbesar di antara lapangan usaha lainnya, yaitu sebesar 30,32 persen pada Triwulan II-2022 (ntt.bps.go.id). Namun, harus kita akui bahwa berbagai potensi ini tidak dikelola dengan baik sehingga NTT masih menjadi pemain lama di barisan daerah dengan status 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal).
Berbagai masalah terkait kemiskinan, keterbatasan infrastruktur, dan rendahnya akses kesehatan dan pendidikan, menjadi batu tajam yang terus dilalui setiap harinya. Kata “sejahtera” masih jauh di atas awan. Sulit untuk dijangkau, indah untuk dibayangkan. Sayangnya masalah ini juga bukan hanya bersumber dari kondisi geografis atau
infrastruktur, melainkan budaya korupsi yang mengakar kuat di sektor birokrasi, menghambat pembangunan di NTT.
Di tahun 2023, Indonesian Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa NTT menjadi provinsi dengan penindakan kasus korupsi terbanyak ketiga di Indonesia. Sebagian
besar kasus korupsi terjadi di sektor penyediaan barang dan jasa, dengan kerugian mencapai 22,79 miliar (KatongNTT.com). Korupsi di sektor barang dan jasa ini bukan hanya menguras dana pembangunan, melainkan menghambat pengadaan infrastruktur dasar yang sangat dibutuhkan masyarakat kita. Korupsi bukan hanya merampas kesejahteraan rakyat, melainkan juga gagal mengangkat NTT dari jurang kemiskinan dan keterbelakangan.
Korupsi yang menghambat pembangunan ini dapat dianalisis melalui metode pengejaran
rente. Dalam bukunya Korupsi: Melacak Arti, Menyimak Implikasi (Gramedia, 2018), Herry
Priyono, mengungkapkan bahwa ada tiga model pengejaran rente menurut Krueger dan
Bhagwati, yang kemudian berpengaruh besar terhadap studi korupsi. Namun, saya ingin
mengangkat dua model yang dapat dikaitkan dalam konteks korupsi yang terjadi di NTT.
Pertama, model pemburuan rente yang terletak dalam otoritas regulatif pemerintah, sehingga para pelaku usaha hanya bereaksi terhadap penciptaan rente di tangan pemerintah.
Solusi yang ditawarkan ialah koreksi terhadap otoritas regulasi pemerintah. Kedua, model pengejaran rente yang muncul bukan dari inisiatif pemerintah, melainkan kebutuhan para pelaku bisnis untuk mencari keuntungan. Pelaku bisnis ini kemudian menyuap pejabat agar dapat memengaruhi aturan main. Solusinya ialah kekuasaan bisnis juga harus dikenakan pertanggungjawaban publik (Priyono, 290-1). Kedua model ini bagi saya dapat kita saksikan langsung dalam proyek pembuatan jalan, misalnya. Di bulan September kemarin, kita menyaksikan bagaimana Kejaksaan Negeri Lembata menahan tiga orang pengusaha yang terkait dengan kasus korupsi pembuatan jalan (Floresa.co).
Saya yakin bahwa peristiwa ini hanyalah sebagian kecil dari masih banyak kasus korupsi yang
terjadi di NTT, sehingga ini akan terus menjadi perhatian dan pengawalan kita bersama.
Selain solusi di atas, masyarakat NTT yang kaya akan budaya dan nilai-nilai luhur
mempunyai pegangan keutamaan (virtue). Nilai-nilai ini dapat menjadi dasar pembentukan
pribadi berintegritas. Contohnya tradisi wuat wa’i dalam budaya Manggarai. Dalam tradisi ini, seorang anak yang hendak melanjutkan sekolahnya, diharapkan agar dapat menjadi “lalong rombeng”.
Ini bukan hanya perkara menjadi sukses dengan banyak gelar, melainkan juga
bagaimana anak tumbuh dalam keutamaan berkat ilmu yang ia tekuni. Budaya dan nilai-nilai
dalam masyarakat kita, jika sungguh-sungguh dihidupkan dalam keluarga dan di sekolah akan menghasilkan generasi muda NTT yang berakar, berkualitas, dan berintegritas.
Dalam rangka meningkatkan pembangunan, pemerintah hendaknya menciptakan
birokrasi yang transparan dan berintegritas. Pribadi-pribadi yang berintegritas dan lingkungan birokrasi yang mendukung gerakan antikorupsi akan menciptakan sistem yang bersih. Sistem ini akan mewujudkan harapan seluruh masyarakat NTT agar bisa semakin sejahtera. Pembangunan dapat dimulai dengan membenahi infrastruktur yang ada sehingga masyarakat dengan mudah mengakses fasilitas pendidikan dan kesehatan. Perbaikan jalan yang rusak membantu masyarakat untuk menjual hasil buminya dan tidak lagi bergantung pada pengepul yang bisa memonopoli harga.
Dari sisi masyarakat, kita jangan pernah lengah mengawasi berbagai proyek pembangunan yang dibuat pemerintah. Kita tidak boleh asal menerima begitu saja, melainkan secara kritis melihat segala proses pembangunan yang terjadi, termasuk bagaimana pengelolaan anggarannya. Kita perlu mengingat bahwa mengawasi arah langkah pemerintah bukan hanya jadi tanggung jawab aparat penegak hukum saja, melainkan kita semua sebagai masyarakat pada umumnya.
Pengawasan yang lebih luas dan mencakup semua pihak inilah yang akan menciptakan lingkungan yang bersih dari korupsi. Selain itu, kepemimpinan yang kuat dan berintegritas juga menjadi solusi lainnya. Sebentar lagi, kita juga akan memasuki pesta demokrasi.
Memilih pemimpin-pemimpin baru NTT dalam lima tahun ke depan. Menjelang pilkada ini, kita mendengarkan “apa kata” para calon pemimpin kita. Mereka bukanlah orang-orang biasa. Mereka merupakan sosok-sosok berpendidikan yang kita ketahui sepak terjalnya. Kita melihat bahwa kata “pembangunan” dan “sejahtera” selalu muncul dalam visi-misi, program, atau janji-janji yang mereka ucapkan.
Kita perlu memastikan agar para pemimpin ini, entah kemudian hari terpilih atau tidak, menjadi penggerak utama agar sistem birokrasi menjadi lebih bersih dan transparan. Kesejahteraan dan kemajuan yang kita harapkan lewat berbagai pembangunan yang ada harus menjadi fokus para pemimpin, agar NTT bisa keluar dari lingkaran kemiskinan dan keterbelakangan. Akhirnya sejahtera bukan lagi mimpi semata ketika kita punya niat bangun NTT yang maju dan unggul.
Commentaires